12 Februari 2019

Proses cerai gugat (sang istri yang mengajukan cerai) di Pengadilan Agama


Sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi mereka yang beragama islam (Muslim) yang ingin mengajukan gugatan perceraian diatur khusus dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 s/d Pasal 148 yang antara lain berbunyi antara lain sbb :
·         Menentukan Pengadilan Agama yang berhak mengadili
Bagi mereka istri yang ingin mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya, gugatan diajukan oleh istri atau kuasanya ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal istri/Penggugat.

·         Pemanggilan para pihak untuk menghadiri sidang
Menurut pasal 138 Kompilasi Hukum Islam (KHI) setelah gugatan diajukan ke Pengadilan Agama maka selanjutnya para pihak akan di panggil guna menghadiri persidangan yang mana panggilan sidang akan dilakukan oleh pihak Pengadilan yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan ke tempat kediaman Penggugat dan Tergugat paling telat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang dilaksakan.
            Apabila kediaman/tempat tinggal Tergugat tidak jelas atau Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang pasti/tetap panggilan akan dilakukan dengan cara menempelkan panggilan di papan pengumuman Pengadilan Agama dan mengumumkan panggilan sidang melalui surat kabar/media masa yang di tetapkan oleh pengadilan. Dan /atau jika sama sekali Tergugat tidak diketahui kediamannya baik didalam maupun luar negeri maka Panggilan sidang akan dilakukan dengan cara di Ghaib yaitu panggilan yang dilakukan dengan menempelkan panggilan sidang ke papan pengumuman Kantor Walikota yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat sewaktu masih diketahui pasti, namun dengan panggilan Ghaib ini memakan waktu yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dari gugatan diajukan.
            Apabila dalam hal Tergugat bertempat tinggal/domisili di luar negeri maka panggilan sidang disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat yang mana ini di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 140.

·         Persidangan/pemeriksaan gugatan
Pada saat pemeriksaan gugatan perceraian, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 142 yang bersangkutan bisa hadir sendiri atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya, akan tetapi meski telah mengkuasakan ke kuasa hukumnya untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir.
            Dalam pemeriksaan gugatan perceaian Majelis Hakim brusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak melalui jalan mediasi, selama perkara belum diputuskan usaha Majelis Hakim untuk mendamaikan Para Pihak akan terus dilakukan setiap sidang pemeriksaan, namun jika upaya mendamaikan kedua belah pihak tidak dapat tercapai maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

·         Putusan perkara perceraian
Pembacaan Putusan tentang percerian dilakukan dalam sidang terbuka yang dibacakan oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkasa tersebut, suatu perceraian dianggap telah terjadi beserta akibat hukumnya terhitung 14 hari setelah putusan dibacakan oleh Majelis Hakim dan tidak ada upaya Hukum Banding dari para pihak, dan jika pada sidang pembacaan putusan salah satu pihak tidak hadir maka putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap di hitung 14 hari setelah pihak yang tidak hadir pada sidang putusan tersebut menerima pemberitahuan isi putusan yang disampaikan memalui surat oleh pihak  Pengadilan Agama bersangkutan.
            Setelah Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap maka pihak Pengadilan Agama bersangkutan wajib menyampaikan Salinan Putusan perceraian tersebut ke Kantor Pencatat Perkawinan/Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi Penggugat dan Tergugat serta ke Kantor Urusan Agama (KUA) dimana perkawinan Penggugat dan Tergugat dilaksanakan/dicatatkan.
            Pihak Pengadilan Agama wajib mencetak/membuat Salinan putusan dan juga Akta Perceraian yang diperuntukan bagi Penggugat dan Tergugat sebagai bukti bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah putus karena perceraian.

13 Januari 2019

Hukum Perkawinan Antara WNI dengan WNA


A.    Perkawinan Antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA)
perkawinan antara WNI dan WNA dalam hukum positif Indonesia tidak dilarang baik itu perkawinan yang dilaksanakan didalam Negeri (Indonesia) yang disebut Perkawinan Campuran ataupun yang dilaksanakan di Luar Negeri disebut dengan Perkawinan diluar Indonesia  asalkan syarat dan ketentuan mengikuti prosedur yang ada pada negara tersebut.
1.      Perkawinan Campuran
Perkawinan Campuran ialah Perkawinan Warga Negara Indonesia  (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) yang mana perkawinannya dilangsungkan di dalam Negeri (Indonesia), namun Perkawinan Campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di Indonesia terpenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UU Perkawinan yang menyatakan :
                  yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”
                                     
2.         Perkawinan di Luar Indonesia
Perkawinan di Luar Indonesia ialah perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan seorang Warga Negara Asing (WNA) yang perkawinannya dilangsungkan di luar wilayah Indonesia dan mengikuti aturan dan hukum negara dimana perkawinan itu dilangsungkan.
                 
Salah satu contoh jika seorang WNI menikah dengan WNA dan memilih tempat perkawinan di Luar Negeri maka keduanya harus patuh dan tunduk pada aturan/hukum yang berlaku di Negera dimana mereka melangsungkan perkawinan, serta harus melaporkan kekonsulat Indonesia yang ada di Negara tersebut, dan juga melaporkan perkawinan yang dilangsungkan di Luar Negeri paling lambat satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan ke Kantor Catatan Sipil setempat agar mendapatkan surat Laporan Kawin Luar Negeri dan tentunya juga agar perkawinannya tercatat di Indonesia.  Sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Perkawinan yang berikut:
1)         Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini;
2)         Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.


B.        Akibat-akibat hukum bagi Perkawinan Campuran
Tentunya ada akibat hukum yang tibul dari adanya suatu perbuatan, dan dalam konteks perkawinan campuran seperti yang dibahas diatas pastinya ada beberapa sebab akibat yang harus di ikuti diantaranya adalah tentang masalah harta atau harta bersama.
    Bagi seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) yang telah melangsungkan perkawinan dan Perkawinan tersebut telah sah baik di Indonesia maupun sah di Negara dimana Pernikahan dilangsungkan, memang setalah adanya perkawinan bagi keduanya tidak di perbolehkan untuk memiliki hak milik atas Tanah, hak guna bangunan, hak guna usaha yang ada di Indonesia. Hal tersebut telah termuat dalam Pasal 35 UU Perkawinan yang berbunyi “ Bahwa harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi bersama. Mamun jika merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyebutkan “ Warga Negara Asing tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, serta Hak Guna Bangunan”. Jadi kesimpulannya adalah jika harta yang didapatkan setelah perkawinan menjadi milik bersama yang menjadi masalah adalah seorang Warga Negara Asing (WNA) tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, serta Hak Guna Bangunan di Indonesia, namun demikian jika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang masih tetap ingin memiliki hak milik meskipun telah melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing (WNA), harus membuat Perjanjian ataupun perjanjian pranikah yang mengatur mengenai pemisahan harta