29 November 2018

Bisakah mengajukan gugatan cerai jika salah satu pihak tidak diketahui keberadanya


Apa yang mendasari seseorang untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan ? tentunya ini adalah permasalahan pribadi dan hanya pasangan suami istri yang mengetahui, namun jauh sebelum seseorang memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian tentunya ada beberapa pertimbangan sebab ini bukan masalah yang sepele karena perceraian tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa adanya permasalahan antara suami istri sebab jauh sebelum terniat untuk mengajukan perceraian mereka adalah pasangan yang saling mencintai menyanyangi satu sama lain bahkan didepan saksi mereka berjanji akan selalu menghargai dan menghormati masing-masing pasangan itulah yang disebut perkawinan, dasar perkawinan itu sendiri terjadi karena adanya perasaan saling mencintai dan menyanyangi dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, akan tetapi seiring berjalanya waktu dan usia perkawinan yang terus bertambah gelombang cobaan dan kerikil-kerikil ujian mereka temui disini lah terkadang mulainya permasalahan yang menjerumus kearah percekcokan, pertengkaran, KDRT, datangnya orang ketiga dan lain sebagainya.                Terkadang bagi mereka yang tidak tahan akan permasalahan rumah tangganya tanpa tanggung jawab pergi begitu saja meninggalkan pasangannya tanpa diketahui lagi keberadaannya yang pasti, di tahap inilah terkadang pasangan yang ditinggalkan mulai merasa gelisah dan bimbang harus berbuat apa. Muncul pertanyaan apakah bisa mengajukan perceraian jika pasangan tidak diketahui dan bagaimana caranya ? jawabanya adalah bisa dan mengajukan gugatannya ke kepangadilan yang mewilayahi tempat kediaman Penggugat saat ini sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Yang berbunyi Sbb : “Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraiandiajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat
                adapun tatacaranya hampir sama dengan mengajukan gugatan dengan alamat yang diketahui, hanya saja karena alamat yang untuk tergugat tidak diketahui maka ada yang berbeda dengan panggilan untuk tergugat yaitu menggunakan panggilan media masa, yang sering digunakan di pengadilan yaitu media masa berupa surat kabar (Koran). Lain halnya bagi mereka yang beragama muslim yang gugatanya diajukan di Pengadilan Agama dan cerai di Pengadilan Agama ada 2 macam yaitu sebagai berikut :1)      Gugatan Cerai Ghoib adalah gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama oleh seorang istri untuk menggugat cerai suaminya, di mana sampai dengan diajukannya gugatan tersebut, alamat maupun keberadaan suaminya tidak jelas (tidak diketahui).2)      Permohonan Cerai Talak Ghoib adalah Permohonan Cerai Talak di mana istri tidak diketahui dengan jelas alamat dan keberadaannya, baik di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia.Karena ini merupakan perkara gugatan cerai antara suami istri yang beragama Islam, maka sesuai pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”): yang berbunyi1)      Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.2)      Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.3)      Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.Jadi, gugatan perceraian yang diajukan oleh istri pada dasarnya dilakukan di tempat kediaman penggugat. Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak istri.Syarat Cerai Gugat GhaibDalam hal suami ghaib, maka ada persyaratan yang wajib dipenuhi oleh istri (Penggugat) yang mengajukan gugatan cerai. yaitu:1)      Alamat lengkap Penggugat saat ini.
2)      Surat keterangan Ghaib dari Kelurahan
3)      Membuat guagatn/permohonan Cerai
4)      Foto Copy KTP Penggugat
5)      Buku Nikah Asli dan foto copy
6)      Untuk biaya biasanya masing-masing Pengadilan Agama Memiliki ketentuan sendiri-sendiri, jadi disini saya tidak bisa memastikan biayanya
Demikian informasi ini saya sampaikan semoga dapat membantu dan bermanfaat.



14 November 2018

PERMASALAHAN APA SAJA YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK MENGGUGAT CERAI ?


Perceraian adalah perbuatan yang tidak pernah kita duga dan mungkin kebanyakan orang tidak mengharapkan hal semacam itu bisa terjadi/menimpa padanya, pada dasarnya niat bercerai/pisah muncul karena akumulasi perasaan kesal seseorang yang sudah memuncak yang bermula dari pertengkaran/percekcokan kecil. Jika kita tinjau kembali menurut hukum positif dan agama tidak ada satupun dari semua itu yang menganjurkan untuk bercerai tanpa didasari dengan alasan-alsan yang mendukung.  
                belakangan ini perceraian di Indonesia menjadi fenomena baru yang semakin tahun grafiknya terus meningkat dan yang melatar belakangi itu semua berbagai macam alasan dari masalah ekonomi, adanya orang ketiga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain sebagainya. Seperti yang telah di atur dalam pasal 19 PP no 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi sbb:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.       Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.       Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.        Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 tersebut diatas adalah alasan-alasan yang sah dan diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian, akan tetapi tidak cukup dengan alasan-alasan saja harus dibuktikan dasar alasan-alasan tersebut.
               

08 November 2018

PERKAWINAN YANG SESUAI DENGAN KETENTUAN AGAMA ISLAM DAN HUKUM DI INDONESIA



Pernikahan adalah anjuran Allah SWT bagi manusia untuk mempertahankan keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan menurut kaidah norma agama, Pernikahan juga dapat diartikan sebagai salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakat agama islam dalam hidup bermasyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan  untuk membangung rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang  sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. 
            Adapun dasar hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
Sedangkan makna perkawinan dalam hukum Indonesia adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Di Indonesia sendiri perkawinan bagi mereka yang beragama islam telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal Pasal 2 yang berbunyi sbb Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Adapun untuk tujuan Perkawinan ada pada Pasal 3 yang berbunyi sbb : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Akan tetapi perkawinan seperti apa yang di maksud seperti poin-poin diatas belum cukup, artinya perkawinan harus dilaporkan ke petugas pencatat perkawinan dalam hal ini yang berhak atas itu adalah Kantor Urusan Agama (KUA) hal ini sesuai dengan apa yang ada pada Pasal 5 (KHI) yang berbunyi sbb:
(1)  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2)  Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Akhir-akhir ini dikalangan orang awam khususnya bagi mereka yang beragama islam (Muslim), banyak sekali ditemui orang yang katanya sudah menikah namun mereka tidak bisa membuktikan pernikahannya seperti buku nikah dan lain sebagainya, mereka berdalih perkawinan mereka sah secara agama karena menikah dihadapan kiyai, ustads dll, jika melihat ketentuan-ketentuan diatas tanpa mereka sadari secara  administrasi mereka belum tercatat sebagai pasangan suami istri hal semacam ini akan menjadi kendala dikemudian hari jika sudah dikaruniai keturunan karena apa? tetap saja anak yang dilahirkan tersebut bisa mendapatkan akta kelahiran akan tetapi tidak bisa mencantumkan nama ayah dalam aktanya.
            Oleh karena itu sangat penting perkawinan yang sah secara agama maupun secara administrasi negara, maksudnya adalah pernikahan yang  terdaftar dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat hal ini untuk memastikan dan melegalkan hubungan perkawinan mereka baik secara hukum agama maupun hukum positive (Indonesia).
            Namun timbul pertanyaan jika perkawinan sudah terlanjur dilaksanakan secara agama dan belum sempat melaporkan ke KUA apa yang harus mereka lakukan ? apakah harus mengulang perkawinan dari awal ?. tidak perlu khawatir dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan jika terjadi hal semacam itu “ISBAT NIKAH” lah solusinya seperti yang termuat dalam pasal 7 KHI yang berbunyi sbb:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.