Apa yang mendasari seseorang untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan ? tentunya ini adalah permasalahan pribadi dan hanya pasangan suami istri yang mengetahui, namun jauh sebelum seseorang memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian tentunya ada beberapa pertimbangan sebab ini bukan masalah yang sepele karena perceraian tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa adanya permasalahan antara suami istri sebab jauh sebelum terniat untuk mengajukan perceraian mereka adalah pasangan yang saling mencintai menyanyangi satu sama lain bahkan didepan saksi mereka berjanji akan selalu menghargai dan menghormati masing-masing pasangan itulah yang disebut perkawinan, dasar perkawinan itu sendiri terjadi karena adanya perasaan saling mencintai dan menyanyangi dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, akan tetapi seiring berjalanya waktu dan usia perkawinan yang terus bertambah gelombang cobaan dan kerikil-kerikil ujian mereka temui disini lah terkadang mulainya permasalahan yang menjerumus kearah percekcokan, pertengkaran, KDRT, datangnya orang ketiga dan lain sebagainya. Terkadang bagi mereka yang tidak tahan akan permasalahan rumah tangganya tanpa tanggung jawab pergi begitu saja meninggalkan pasangannya tanpa diketahui lagi keberadaannya yang pasti, di tahap inilah terkadang pasangan yang ditinggalkan mulai merasa gelisah dan bimbang harus berbuat apa. Muncul pertanyaan apakah bisa mengajukan perceraian jika pasangan tidak diketahui dan bagaimana caranya ? jawabanya adalah bisa dan mengajukan gugatannya ke kepangadilan yang mewilayahi tempat kediaman Penggugat saat ini sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Yang berbunyi Sbb : “Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraiandiajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat”
29 November 2018
Bisakah mengajukan gugatan cerai jika salah satu pihak tidak diketahui keberadanya
Apa yang mendasari seseorang untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan ? tentunya ini adalah permasalahan pribadi dan hanya pasangan suami istri yang mengetahui, namun jauh sebelum seseorang memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian tentunya ada beberapa pertimbangan sebab ini bukan masalah yang sepele karena perceraian tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa adanya permasalahan antara suami istri sebab jauh sebelum terniat untuk mengajukan perceraian mereka adalah pasangan yang saling mencintai menyanyangi satu sama lain bahkan didepan saksi mereka berjanji akan selalu menghargai dan menghormati masing-masing pasangan itulah yang disebut perkawinan, dasar perkawinan itu sendiri terjadi karena adanya perasaan saling mencintai dan menyanyangi dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, akan tetapi seiring berjalanya waktu dan usia perkawinan yang terus bertambah gelombang cobaan dan kerikil-kerikil ujian mereka temui disini lah terkadang mulainya permasalahan yang menjerumus kearah percekcokan, pertengkaran, KDRT, datangnya orang ketiga dan lain sebagainya. Terkadang bagi mereka yang tidak tahan akan permasalahan rumah tangganya tanpa tanggung jawab pergi begitu saja meninggalkan pasangannya tanpa diketahui lagi keberadaannya yang pasti, di tahap inilah terkadang pasangan yang ditinggalkan mulai merasa gelisah dan bimbang harus berbuat apa. Muncul pertanyaan apakah bisa mengajukan perceraian jika pasangan tidak diketahui dan bagaimana caranya ? jawabanya adalah bisa dan mengajukan gugatannya ke kepangadilan yang mewilayahi tempat kediaman Penggugat saat ini sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Yang berbunyi Sbb : “Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraiandiajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat”
14 November 2018
PERMASALAHAN APA SAJA YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK MENGGUGAT CERAI ?
Perceraian adalah perbuatan yang
tidak pernah kita duga dan mungkin kebanyakan orang tidak mengharapkan hal semacam
itu bisa terjadi/menimpa padanya, pada dasarnya niat bercerai/pisah muncul
karena akumulasi perasaan kesal seseorang yang sudah memuncak yang bermula dari
pertengkaran/percekcokan kecil. Jika kita tinjau kembali menurut hukum positif
dan agama tidak ada satupun dari semua itu yang menganjurkan untuk bercerai
tanpa didasari dengan alasan-alsan yang mendukung.
belakangan
ini perceraian di Indonesia menjadi fenomena baru yang semakin tahun grafiknya
terus meningkat dan yang melatar belakangi itu semua berbagai macam alasan dari
masalah ekonomi, adanya orang ketiga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan
lain sebagainya. Seperti yang telah di atur dalam pasal 19 PP no 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi sbb:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau
penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
f.
Antara
suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975
tersebut diatas adalah alasan-alasan yang sah dan diperbolehkan untuk
mengajukan gugatan perceraian, akan tetapi tidak cukup dengan alasan-alasan
saja harus dibuktikan dasar alasan-alasan tersebut.
08 November 2018
PERKAWINAN YANG SESUAI DENGAN KETENTUAN AGAMA ISLAM DAN HUKUM DI INDONESIA
Pernikahan adalah anjuran Allah SWT bagi manusia untuk
mempertahankan keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara
yang sesuai dan menurut kaidah norma agama, Pernikahan juga dapat
diartikan sebagai salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan
masyarakat agama islam dalam hidup bermasyarakat. Pernikahan bukan saja
merupakan satu jalan untuk membangung rumah tangga dan
melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang sebagai jalan untuk
meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi
diantara manusia.
Adapun dasar hukum
pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :
Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S.
An-Nuur : 32)
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
(Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa
saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia
menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan.
Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena
berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
Sedangkan makna perkawinan dalam
hukum Indonesia adalah ikatan sosial atau
ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang
merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang
biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan
upacara pernikahan. Umumnya
perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Di Indonesia sendiri perkawinan bagi mereka yang beragama
islam telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal Pasal 2 yang berbunyi sbb “Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Adapun untuk tujuan
Perkawinan ada pada Pasal 3 yang
berbunyi sbb : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Akan
tetapi perkawinan seperti apa yang di maksud seperti poin-poin diatas belum
cukup, artinya perkawinan harus dilaporkan ke petugas pencatat perkawinan dalam
hal ini yang berhak atas itu adalah Kantor Urusan Agama (KUA) hal ini sesuai
dengan apa yang ada pada Pasal 5 (KHI)
yang berbunyi sbb:
(1) Agar terjamin
ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan
tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Akhir-akhir
ini dikalangan orang awam khususnya bagi mereka yang beragama islam (Muslim),
banyak sekali ditemui orang yang katanya sudah menikah namun mereka tidak bisa
membuktikan pernikahannya seperti buku nikah dan lain sebagainya, mereka
berdalih perkawinan mereka sah secara agama karena menikah dihadapan kiyai,
ustads dll, jika melihat ketentuan-ketentuan diatas tanpa mereka sadari secara administrasi mereka belum tercatat sebagai
pasangan suami istri hal semacam ini akan menjadi kendala dikemudian hari jika
sudah dikaruniai keturunan karena apa? tetap saja anak yang dilahirkan tersebut
bisa mendapatkan akta kelahiran akan tetapi tidak bisa mencantumkan nama ayah
dalam aktanya.
Oleh
karena itu sangat penting perkawinan yang sah secara agama maupun secara
administrasi negara, maksudnya adalah pernikahan yang terdaftar dan tercatat di Kantor Urusan Agama
(KUA) setempat hal ini untuk memastikan dan melegalkan hubungan perkawinan
mereka baik secara hukum agama maupun hukum positive (Indonesia).
Namun
timbul pertanyaan jika perkawinan sudah terlanjur dilaksanakan secara agama dan
belum sempat melaporkan ke KUA apa yang harus mereka lakukan ? apakah harus
mengulang perkawinan dari awal ?. tidak perlu khawatir dalam Kompilasi Hukum
Islam dijelaskan jika terjadi hal semacam itu “ISBAT NIKAH” lah solusinya
seperti yang termuat dalam pasal 7 KHI yang berbunyi sbb:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a)
Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b)
Hilangnya Akta Nikah;
(c)
Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d)
Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun
1974 dan;
(e)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah
suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan
dengan perkawinan itu.
Langganan:
Postingan (Atom)